Sentuhan tangan dingin pelatih asal Korea Selatan tersebut menjadi salah satu faktor utama di balik kemajuan pesat sepak bola Indonesia.
“The History Maker” alias pembuat sejarah. Inilah julukan yang didapat Shin Tae-yong setelah empat tahun menjabat sebagai pelatih tim nasional Indonesia.
Julukan itu datang bukan tanpa alasan, mengingat kehadiran juru taktik asal Korea Selatan itu telah memberikan dampak signifikan bagi perkembangan sepak bola di negara Asia Tenggara tersebut.
Progres Skuad Garuda terekam jelas dalam daftar Peringkat Dunia FIFA. Shin Tae-yong sudah mampu mengatrol posisi Indonesia sebanyak 42 peringkat dalam ranking FIFA. Saat pertama menjabat sebagai pelatih pada September 2021, Indonesia masih berada di peringkat ke-175, sebelum melejit ke posisi ke-133 berdasarkan rilis peringkat Juli tahun ini.
Tak sekadar di papan peringkat, perubahan itu nyata terasa di lapangan dengan berbagai sejarah baru yang ditorehkan. Keberhasilan Indonesia lolos ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia FIFA 2026 zona Asia merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menjadi kelanjutan kisah sukses menembus 16 besar Piala Asia AFC 2023. Ini belum termasuk pencapaian luar biasa lainnya di kelompok umur, ketika membawa Indonesia finis sebagai semi-finalis di Piala Asia AFC U-23 2023.
Dalam sebuah kesempatan berbincang dengan FIFA secara eksklusif, Shin Tae-yong mengawali perbincangan dengan menarik mundur ke belakang, menceritakan secara rinci tentang kemajuan apa saja yang telah dialami Indonesia beserta tantangan-tantangan yang ada.
“Masalah pertama di sepak bola Indonesia [yang saya temukan] adalah kurangnya daya juang, itu yang ingin saya ubah. Siapa pun yang masih terhanyut dengan euforia memungkinkan untuk dicoret dari skuad dan kemudian memilih pemain-pemain baru lebih muda [dengan daya juang lebih]. Itulah yang menjadi alasan utama hingga kami bisa lolos sampai sekarang,” kenangnya.
“Progres yang paling besar adalah saat ini pemain kami tidak gampang menyerah. Mungkin dulu misalnya saat menghadapi tim yang lebih kuat atau peringkatnya lebih tinggi, mereka sudah kalah [mental] duluan sebelum bertanding. Tapi saat ini para pemain timnas Indonesia sudah menunjukkan berjuang habis-habisan dan bekerja keras mati-matian sampai pertandingan benar-benar selesai.”
Shin Tae-yong berpendapat bahwa berkembangnya sepak bola Indonesia tidak serta merta hasil kerja keras staf pelatih maupun para pemain saja, tapi juga adanya dukungan yang maksimal dari Federasi Sepak Bola Indonesia (PSSI). Salah satu kebijakan yang berdampak positif adalah memanggil pulang para pemain diaspora dengan kualitas dan jam terbang tinggi, seperti Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, Thom Haye dan Justin Hubner yang kini menjadi tulang punggung pasukan Merah Putih.
“Dengan masuknya Erick [Thohir] sebagai ketua umum PSSI, jadi ada banyak perubahan sistem yang otomatis mendukung timnas Indonesia secara penuh dan baik,” ungkapnya. “Juga ada [program] pemain naturalisasi [diaspora] yang dibawa ke timnas Indonesia jadi bisa mengisi kekurangan atau kelemahan tim, sehingga tim ini bisa menjadi suatu kesatuan yang lebih baik dan bisa membuat sejarah di Piala Asia dan lolos ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia.”
Sebagai pendatang baru di fase kualifikasi yang terdiri dari 18 tim terbaik benua Asia, Indonesia merupakan salah satu tim yang paling tidak diunggulkan untuk bisa melangkah lebih jauh. Secara peringkat FIFA, Indonesia (133) kalah jauh dari calon lawan-lawan mereka di Grup C yakni para langganan Piala Dunia, Jepang (18), Australia (24), Arab Saudi (56), belum lagi Bahrain (80) dan Tiongkok (87). Dari fase ini, nantinya dua tim teratas di grup akan lolos langsung ke Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, sementara posisi ketiga dan keempat akan melanjutkan perjuangan di putaran keempat.
Kata gentar tidak ada dalam kamus Shin Tae-yong dan sang pelatih menargetkan anak asuhnya dapat memberikan perlawanan kompetitif sembari juga mengusung target yang realistis menjelang dua pertandingan awal menghadapi Arab Saudi di Jeddah pada 5 September dan menjamu Australia di Jakarta pada 10 September.
“Seperti yang diketahui, dari peringkat FIFA saja Indonesia merupakan tim paling lemah saat ini, jadinya ketimbang [memaksakan diri] bersaing memperebutkan peringkat pertama dan kedua, mungkin lebih tepat kami harus bekerja keras untuk mencapai peringkat ketiga atau keempat sehingga bisa melaju sampai ke play-off dan dari sana mungkin kami bisa memperebutkan tiket ke Piala Dunia,” terangnya.
Ketika pertama kali menangani timnas Indonesia, Shin Tae-yong dikenal dengan kebijakannya “potong generasi”, sebuah proses yang hasilnya kini bisa dinikmati penggemar, dengan munculnya bintang-bintang baru dalam diri Marselino Ferdinan, Rizky Ridho, Pratama Arhan, Ernando Ari hingga Hokky Caraka. Juru latih berusia 53 tahun itu pun menjelaskan mengapa harus mengambil langkah yang tergolong ekstrem tersebut.
“Mengapa saya lebih banyak memanggil para pemain muda? Karena ada beberapa pemain sebelumnya yang tidak menunjukkan usaha untuk mengubah mental dan fisik,” tegas Shin Tae-yong. “Akhirnya ada keputusan untuk mengganti generasi, jadi pastinya saya berusaha mengubah mental dan fisik para pemain muda itu dan mereka pun mengikuti instruksi dengan baik.” “Mereka terus saya tantang untuk menjalankan apa yang saya perintahkan, mereka mematuhi itu dan mengikuti filosofi yang saya terapkan. Dengan begitu, ya mereka berkembang jadi lebih baik sehingga ini juga faktor mengapa kami bisa lolos sampai ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia.”
Dalam dunia sepak bola, kerap terbukti bahwa bakat atau talenta saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan sikap yang baik. Pemahaman ini juga yang dianut oleh legenda sekaligus mantan pemain Seongnam Ilhwa Chunma tersebut dalam menentukan pemanggilan pemain.
“Sebagai pelatih pastinya melihat teknik atau keterampilan dasar para pemain, juga fisik. Tapi yang pasti dan utama adalah sikap para pemain,” ungkapnya. “Apakah pemain tersebut rela mengorbankan dirinya atau mau bekerja keras untuk tim, itu aspek pertama yang saya lihat sebelum pindah ke aspek fisik dan lain-lain.”
Bicara soal fisik, salah satu yang menjadi tolok ukur dan pertimbangan Shin Tae-yong dalam menyusun skuadnya adalah postur. Aspek ini menurutnya sangat perlu diperhatikan apabila sepak bola Indonesia ingin naik kelas.
“Kalau di turnamen Asia Tenggara atau AFF mungkin tidak akan terasa perbedaannya [postur] seperti apa. Tapi kalau main di luar Asia Tenggara, melawan tim-tim Asia akan langsung terasa ada perbedaan postur tubuh,” lanjutnya. “Memang saat ini sudah lebih baik, mungkin bisa dibilang postur para pemain Indonesia hampir sama [dengan lawan-lawan di Asia]. Juga perlu adanya pengalaman dan jam terbang pertandingan-pertandingan besar atau internasional yang baik. Tapi dengan kemarin mengikuti Piala Asia dan juga Piala Asia U-23 tentunya menjadi tambahan pengalaman berharga bagi para pemain di panggung internasional. Jadi, pastinya saat ini kami bermain melawan tim manapun tidak akan gentar.”
Kebersamaan serta kedisiplinan ala budaya Asia Timur menjadi gaya kepemimpinan Shin Tae-yong sebagai pelatih, sehingga dia berharap tidak ada pemain yang terkena star syndrome dan terus kompak demi menggapai tujuan tim secara kolektif. “Saya tegaskan kepada para pemain agar terus bermain dengan percaya diri dan berani, jangan larut dalam penyesalan setelah pertandingan selesai [saat kalah]. Minta tolong juga kepada para pemain agar tidak menonjolkan dirinya sendiri, tapi lebih fokus meraih kemenangan bersama tim. Itu yang selalu saya tegaskan sebelum tim bertanding,” ujarnya.
Membawa Indonesia lebih disegani di peta persaingan sepak bola di level dunia adalah mimpi besar yang ingin diwujudkan sang pelatih yang gemar bermain golf dan telah jatuh cinta pada keramahan masyarakat Indonesia.
“Target jangka panjangnya, secara pribadi, adalah membawa Indonesia menembus 100 besar peringkat FIFA. Lalu, untuk yang terdekat, saya akan berusaha agar Indonesia bisa masuk ke play-off sehingga tim ini nantinya bisa terus bersaing memperebutkan jatah lolos ke Piala Dunia,” sambungnya.
Putaran final Piala Dunia sendiri bukan hal baru bagi Shin Tae-yong. Dia pernah menggemparkan dunia saat menukangi Korea Selatan di edisi Rusia 2018 lalu, di mana pasukannya berhasil menumbangkan juara bertahan waktu itu, Jerman di fase grup dengan skor 2-0. Ada pengalaman berharga yang dipetik dari momen bersejarah itu yang bisa dia tularkan ke sepak bola Indonesia.
“Kerja keras dalam pertandingan. Waktu itu [Korea Selatan] bisa memenangkan pertandingan, sekarang pun [Indonesia] bisa apalagi di kualifikasi Piala Dunia,” ujarnya. “Para pemain Indonesia harus bisa mempelajari dan menyadari apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan pemain lawan. Lalu, apa yang diminta kami para staf pelatih, para pemain juga harus benar-benar bisa memahaminya. Artinya harus banyak berpikir dan menggunakan inteligensi dengan baik.” “Jadi, dengan bekerja keras saja sebenarnya tidak bisa meladeni tim-tim yang bagus itu secara maksimal. Selain itu, hati, fisik maupun visi kami sebagai tim semuanya harus menjadi satu. Intinya harus bekerja keras, maka akan bisa memenangkan pertandingan walaupun melawan tim-tim yang lebih baik.”
Tinggalkan Balasan