
Tenggulangbaru.id – Pemerintah bersama DPR RI resmi mengesahkan aturan yang membuka jalan bagi umat Islam menunaikan umrah secara mandiri tanpa harus selalu melalui biro perjalanan (PPIU). Keputusan yang tertuang pada perubahan UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah ini memicu reaksi beragam dari pengusaha travel, asosiasi, dan kalangan keagamaan karena konsekuensi sosial-ekonomi dan aturan pelaksanaannya.
Legalitas Baru: Apa yang Berubah
Perubahan tercantum dalam salinan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 (perubahan ketiga atas UU No. 8/2019) yang memasukkan ketentuan bahwa “perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan:a. melalui PPIU; b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri.”
Dengan demikian, secara formal negara memberikan dasar hukum bagi warga untuk mengatur perjalanan umrah tanpa perantara biro berizin—asal memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan.
Langkah ini dipandang sebagai pembaruan regulasi yang membuka pilihan bagi jamaah, namun juga membawa kebutuhan pengaturan teknis baru: verifikasi dokumen, perlindungan konsumen, dan mekanisme pengawasan pelaksanaan umrah mandiri agar tidak merugikan jamaah.
Draf perubahan KUH tersebut telah melalui pembahasan legislatif dan diterima akhir-akhir ini; salinan UU yang beredar memuat pasal-pasal penjelas terkait tata cara umrah. Begitu kabar ini tersebar, sejumlah asosiasi biro perjalanan menyatakan kaget dan khawatir terhadap dampak langsung pada ekosistem PPIU—menganggap legalisasi mendadak ini seperti “petir di siang bolong” bagi industri yang selama ini menjadi penopang bimbingan ibadah bagi jamaah.
Asosiasi seperti AMPHURI menyoroti bahwa PPIU selama ini menanggung beban amanah besar—mulai dari bimbingan ibadah, logistik, hingga tanggung jawab atas keselamatan jamaah—sehingga perubahan ini harus diikuti aturan teknis yang menjamin kepastian hak dan perlindungan. Republika dan media lain juga melaporkan komentar serupa dari pelaku usaha dan pengamat.
Peluang bagi Jamaah dan Risiko bagi Industri
Legalitas umrah mandiri membawa sejumlah potensi manfaat: memberi fleksibilitas pada jamaah (mis. pilihan jadwal, penerbangan, dan layanan sesuai kebutuhan), mendorong pasar yang lebih kompetitif, dan membuka ruang bagi inovasi layanan digital untuk bimbingan ibadah mandiri.
Namun di sisi lain, ada risiko nyata: praktik penipuan perjalanan, lemahnya pengawasan kualitas layanan, dan potensi mereduksi peran biro syariah yang selama ini menjadi jaminan layanan. Untuk itu, pasal-pasal pelaksana dan peraturan turunannya harus jelas mengatur mekanisme pendaftaran, lisensi pihak yang memberikan bimbingan, serta hak pelaporan bagi jamaah.
Pengawasan dan Bimbingan Ibadah
Dalam konteks dakwah dan pembinaan, pelaksanaan ibadah umrah bukan sekadar perjalanan fisik; ada aspek bimbingan ritual, pengajaran adab, dan tanggung jawab komunal. Ulama dan pengurus pesantren kemungkinan akan mendorong agar bimbingan ritual tetap tersedia — baik melalui PPIU, lembaga keagamaan, atau platform resmi yang diatur negara.\
leh karena itu, kebijakan ini idealnya disertai mekanisme kolaborasi antara Kementerian Agama, ormas Islam, dan pelaku industri untuk memastikan kualitas pembinaan ibadah bagi jamaah mandiri.
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim — sebagai pengingat bahwa mencari ilmu dan bimbingan adalah bagian dari ibadah).
Dalam konteks ini, kebijakan harus memastikan jamaah tidak kehilangan akses pada pembinaan ilmu dan adab umrah.
Rekomendasi Praktis untuk Jamaah dan Penyedia Layanan
Legalitas umrah mandiri adalah perubahan besar yang membuka peluang kemandirian jamaah sekaligus menuntut kesiapan regulasi dan pembinaan. Sebagaimana Islam mengajarkan keseimbangan antara kemudahan dan tanggung jawab, kebijakan ini harus dipadukan dengan pengawasan yang adil dan upaya pendidikan agama agar ibadah tetap bermakna dan terlindungi.
Semoga langkah ini menjadi jalan memudahkan haji dan umrah tanpa mengorbankan kepastian hak dan keselamatan jamaah. (DM)
BACA JUGA:
Tinggalkan Balasan