Tenggulangbaru.id – Setiap menjelang Idul Fitri, jutaan orang di Indonesia melakukan perjalanan menuju kampung halaman. Tradisi ini dikenal sebagai mudik, sebuah fenomena yang bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang penuh makna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik diartikan sebagai kegiatan pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari raya atau liburan besar.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, istilah ini berasal dari bahasa Jawa, yaitu “mulih dhisik”, yang berarti “pulang duluan” atau “pulang ke kampung halaman”.
Menariknya, mudik bukan hanya menjadi kebiasaan tahunan, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan, silaturahmi, dan refleksi spiritual. Lantas, apa saja hikmah yang tersembunyi di balik tradisi ini?
Mudik adalah momentum menjalin kembali hubungan keluarga yang mungkin sempat renggang karena kesibukan sehari-hari. Dalam agama Islam, menjaga silaturahmi sangat dianjurkan dan menjadi bagian dari keimanan.
Allah SWT berfirman:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa: 1)
Bahkan, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, mudik bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan hati untuk menghubungkan kembali kasih sayang di antara keluarga dan kerabat.
Di balik suasana haru dan kebahagiaan bertemu keluarga, mudik juga berdampak besar pada ekonomi. Beberapa sektor yang paling diuntungkan saat musim mudik, antara lain:
Dengan adanya mudik, perekonomian desa pun ikut menggeliat** karena banyak perantau yang membawa rezeki untuk sanak saudara.
Mudik sering kali dilakukan saat bulan Ramadhan, sehingga para pemudik dihadapkan pada tantangan ibadah, seperti menjalankan puasa dan shalat di perjalanan.
Namun, Hukum memberikan rukhshoh (keringanan) bagi para musafir, seperti:
Allah SWT berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat.” (QS. An-Nisa: 101)
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam adalah agama yang memudahkan, bukan menyulitkan, terutama bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh.
Mudik mengajarkan kita tentang kehidupan. Di dunia ini, kita semua hanyalah musafir, yang pada akhirnya akan kembali ke kampung halaman sejati—akhirat.
Seperti halnya kita mempersiapkan mudik dengan membeli tiket, membawa bekal, dan menjaga kondisi fisik, begitu pula seharusnya kita mempersiapkan perjalanan menuju kehidupan yang lebih kekal.
Apakah kita sudah memiliki cukup bekal amal? Apakah kita sudah memperbaiki hubungan dengan sesama?
Semoga perjalanan mudik kita bukan hanya sekadar pulang kampung, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual yang semakin mendekatkan kita kepada Allah SWT. Wallahu A’lam bis Showab.(DM)
Tinggalkan Balasan