Tenggulangbaru.id – Zakat adalah kewajiban ritual yang tertulis dalam syariat Islam untuk sebagian jenis harta tertentu dan ditujukan langsung kepada delapan golongan mustahik (penerima zakat).
Sementara itu, pajak atau pungutan publik pada masa awal Islam berfungsi sebagai sumber pembiayaan urusan negara—seperti keamanan, pelayanan publik, dan kebutuhan kolektif—meski dalam praktik sejarah keduanya sering saling melengkapi.
Pembahasan ini penting untuk memahami bagaimana sistem fiskal modern dapat belajar dari sejarah untuk meningkatkan jaring pengaman sosial.
Baca Juga:
Rebo Wekasan 2025: Sejarah, Amalan & Tata Cara
Dokumen sejarah menunjukkan bahwa pada masa Nabi dan pemerintahan awal Islam, terdapat mekanisme pengumpulan harta untuk kepentingan umat: zakat yang bersifat ritual dan ditata menurut jenis harta; serta pungutan untuk kepentingan komunitas yang dapat diposisikan sebagai antecendents dari pajak administratif.
Prinsip yang berlaku adalah tujuan kemaslahatan—mendukung fakir miskin, pemeliharaan fasilitas publik, dan stabilitas sosial. Penjelasan rinci soal jenis harta yang wajib dizakati dan pihak-pihak penerima membantu pembuat kebijakan kontemporer menempatkan zakat sebagai instrumen komplementer program kesejahteraan.
Baca Juga:
Panduan Lengkap Niat Puasa Tarwiyah dan Arafah
Dalam konteks Indonesia saat ini, zakat dipandang sebagai potensi tambahan untuk memperkuat sistem perlindungan sosial — khususnya bila disalurkan secara profesional dan terintegrasi dengan kebijakan fiskal.
Namun, perbedaan mendasar antara zakat (berbasis agama dan distribusi langsung) dan pajak (dasar hukum negara, bersifat wajib untuk pendanaan publik) menuntut regulasi dan koordinasi yang jelas agar keduanya saling melengkapi tanpa tumpang tindih. Diskusi ini relevan ketika pemerintah dan lembaga zakat memperkuat tata kelola penyaluran dana untuk mengurangi kemiskinan.
Baca Juga:
Kumpulan Doa Penting Selama Haji dan Umrah
Para ahli sejarah hukum Islam dan praktisi zakat menekankan bahwa zakat efektif jika pengumpulan dan distribusinya transparan serta adanya integrasi data mustahik.
Di sisi lain, pembuat kebijakan fiskal perlu mencermati aspek legal dan akuntabilitas saat menjajaki sinergi zakat–pajak. Analisis menunjukkan potensi sinergi tinggi untuk program sosial berskala nasional bila tata kelola dibereskan.
Sejarah membuktikan bahwa mekanisme zakat dan pungutan publik telah ada sejak masa Rasulullah, masing-masing memainkan peran berbeda namun sama-sama penting bagi kesejahteraan umat.
Untuk masa kini, integrasi yang hati-hati antara sistem zakat profesional dan kebijakan fiskal berpotensi memperkuat jaring pengaman sosial di Indonesia. (DM)
BACA ARTIKEL MENARIK LAINNYA:
Tinggalkan Balasan