Dalam bahasa, “shalat” berarti doa. Namun, secara istilah, shalat merujuk pada serangkaian ibadah khusus yang dimulai dengan Takbiratul Ihram dan diakhiri dengan Salam.
Dalam sebuah Hadis, shalat disamakan dengan tiang agama, yang berarti seseorang yang melakukan shalat telah menegakkan agama, sedangkan yang meninggalkannya telah meruntuhkan tiang tersebut.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ , فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ , وَإِنْ فَسَدَتْ , فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ
“Sesungguhnya yang pertama kali akan diminta pertanggungjawaban oleh seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka dia beruntung dan berhasil, tetapi jika tidak, maka dia merugi dan kalah.” (HR. At-Tirmidzi)
Baca Juga: Memahami Hukum Melagukan Al Quran: Sunnah atau Haram?
Sebagai umat Islam yang baik, kita harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh ibadah shalat. Shalat akan menjadi pertanggungjawaban pertama kita di akhirat.
Setiap muslim wajib melaksanakan shalat sejak mencapai usia baligh. Setelah mencapai usia tersebut, juga wajib untuk mengganti (qadha’) shalat yang terlewat, baik dengan sengaja maupun tidak.
Terkadang, banyak orang Islam yang tidak menyadari pentingnya shalat ketika masih remaja, dan baru menyadari kesalahannya tersebut ketika sudah dewasa. Bahkan ada yang baru mengetahui bahwa shalat yang ditinggalkannya harus diganti.
Ketika seorang muslim mencapai usia baligh, ia wajib melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Salah satu perintah Allah yang paling utama adalah shalat. Jika shalat ditinggalkan, baik dengan sengaja maupun tidak, Muslim tersebut wajib melakukan qadha’ atau menggantinya.
Baca Juga: Syarat dan Rukun Shalat yang Wajib Diketahui
Terkait dengan qadha’ ini, terdapat empat pembahasan yang akan diuraikan.
Pertama, berkaitan dengan jumlah shalat yang wajib di-qadha’. Setiap muslim yang pernah meninggalkan shalat fardhu harus men-qadha’ semua shalat yang ditinggalkannya. Namun, jika ia lupa jumlahnya, maka ia harus men-qadha’ atau melakukan shalat lagi sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan tersebut, sampai yakin sudah tidak ada lagi shalat yang belum di-qadha’ sebanyak yang pernah ditinggalkannya. Keterangan ini merujuk pada Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Berikut ini keterangannya:
مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ لَا يَدْرِيْ عَدَدَهَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ، عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ، وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ، وَالْحَنَفِيَّةُ: يَكْفِيْ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ
“Barangsiapa seseorang yang memiliki tanggungan shalat (qadha’) tanpa mengetahui jumlahnya, maka wajib baginya untuk melaksanakan qadha’ hingga yakin bahwa semua tanggungannya telah terpenuhi. Pandangan ini sesuai dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hanafi, cukup dengan adanya anggapan yang kuat terkait tanggungan tersebut, meski belum mencapai taraf keyakinan.”
Baca Juga: Apakah Boleh Mencicipi Makanan Saat Berpuasa? Ini Jawabannya
Kedua, terkait waktu pelaksanaan qadha’. Banyak ulama yang berpendapat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat tanpa udzur hanya boleh melakukan qadha’ shalat, sementara aktivitas lain hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Meskipun hal ini dianggap berat, Al-Imam Abdullah Al-Haddad memberikan solusi yang dapat dijadikan pertimbangan, sebagaimana dikutip dalam Bughyah al-Musytarsyidin.
وَمِنْ كَلَامِ الْحَبِيْبِ اَلْقُطْبِ عَبْدِ اللهِ اَلْحَدَّادِ: وَيَلْزَمُ التَّائِبُ أَنْ يَقْضِيَ مَا فُرِطَ فِيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ كَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَيَكُوْنُ عَلَى التَّرَاخِيْ وَالْاِسْتِطَاعَةِ مِنْ غَيْرِ تَضْيِيْقٍ وَلَا تَسَاهُلٍ –إلِىَ أن قال- وَهَذَا كَمَا تَرَى أَوْلَى مِمَّا قَالَهُ الْفُقَهَاءُ مِنْ وُجُوْبِ صَرْفِ جَمِيْعِ وَقْتِهِ لِلْقَضَاءِ، مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُهُ لَهُ وَلِمُمَوَّنِهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَرَجِ الشَّدِيْدِ
“Sebagian ucapan Al-Habib Abdullah Al-haddad: seseorang yang bertobat wajib melaksanakan qadha’ kewajiban shalat, puasa, dan zakat yang sebelumnya diabaikannya. Tugas ini harus dilakukan sesuai kemampuannya, agar tidak merasa kesulitan atau terbebani, tetapi juga tidak boleh dianggap enteng. Pandangan ini, seperti yang terlihat, lebih disukai daripada pandangan ulama yang melarang melakukan apapun selain qadha’ shalat. Mereka hanya mengizinkan aktivitas lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, yang jelas sulit untuk dilakukan.”
Berdasarkan pendapat ini, seseorang tidak diharuskan menghabiskan seluruh waktunya untuk men-qadha’, tetapi cukup melakukannya sesuai dengan kemampuannya. Namun, tetap tidak boleh menganggap remeh tanggungan tersebut. Jika merasa lelah saat melaksanakan qadha’, boleh beristirahat dan melanjutkannya ketika sudah segar kembali.
Baca Juga: Panduan Lengkap Mandi Wajib dan Sunnah: Ketentuan dan Macam-Macamnya
Ketiga, tentang cara melaksanakan qadha’. Melakukan qadha’ shalat dilakukan dengan cara yang sama seperti biasanya. Namun, dalam shalat qadha’, terdapat sedikit perbedaan dalam niat, tergantung jenis shalat yang akan di-qadha‘. Misalnya, jika berniat untuk melaksanakan shalat qadha’ Maghrib, perlu dijelaskan dengan jelas jenis shalat tersebut dan disertai dengan kata “qadha’”, seperti contoh di bawah ini:
أُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثلاث رَكعَاتٍ قَضَاءً لله تَعَالَى
“Saya shalat fardhu Maghrib tiga rakaat qadha’ karena Allah Ta’ala.”
Baca Juga: Tata Cara Ziarah Kubur Sesuai Hadis, Dilengkapi dengan Doa
Keempat, tentang waktu pelaksanaan qadha’. Seorang muslim tidak terikat pada waktu tertentu dalam melaksanakan shalat qadha’. Artinya, ia bisa melakukan qadha’ shalat Ashar pada waktu Maghrib atau Isya’, atau pada waktu lain yang tersedia. Begitu pula dengan qadha’ shalat Maghrib, bisa dilakukan pada waktu Subuh, misalnya.Semoga ini bermanfaat. Wallahu A’lam bis Showab. [DM]
Tinggalkan Balasan