
Tenggulangbaru.id – Keraguan saat membaca surat Al-Fatihah di tengah shalat kerap membuat hati gelisah: apakah shalat batal dan harus diulang? Kasus yang tampak sepele ini ternyata menyentuh aspek rukun shalat, waswas (bisikan setan), dan aturan fiqih yang praktis — sehingga perlu pemahaman yang tenang dan solusi aplikatif.
Hukum dan Dalil Utama soal Al-Fatihah
Surat Al-Fatihah memiliki kedudukan khas dalam shalat; terdapat hadits yang tegas menyatakan pentingnya bacaan ini sebagai bagian rukun shalat. Menurut riwayat yang dikutip para ulama:
“لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب”
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab” (HR. Bukhari).
Pernyataan ini menjadi landasan sebagian besar ulama mazhab Syafi‘i bahwa Al-Fatihah wajib dibaca dalam shalat.
Penjelasan ini bukan bermaksud menakut-nakuti, melainkan menegaskan posisi bacaan Al-Fatihah dalam tata shalat. Namun, penting juga memahami kaidah fiqih yang mengurai perbedaan antara lupa/ragu yang terjadi saat baca dan keraguan yang muncul setelah selesai membaca.
Dua Tipe Keraguan
Para ulama membedakan setidaknya dua tipe keraguan yang berdampak berbeda pada hukum shalat:
Contoh: tengah membaca lalu ragu apakah sudah menyebutkan “bismillahir-rahmanir-rahim”. Dalam kondisi ini, para ulama menyatakan wajib mengulangi bagian yang diragukan sampai yakin selesai membaca, karena rukun bacaan belum sempurna.
Contoh: seseorang baru sadar ketika sudah rukuk atau setelah bangkit dari rukuk. Dalam kondisi ini banyak ulama berpendapat keraguan tersebut tidak membatalkan shalat dan tidak perlu diulang — sebab ragu muncul setelah rukun selesai dan tidak berpengaruh pada keabsahan.
Pembagian ini praktis, cukup fokus pada waktu munculnya keraguan. Kalau keraguannya muncul ketika bacaan belum selesai → perbaiki segera; kalau muncul setelah berpindah atau selesai → abaikan.
Argumentasi Fikih dan Referensi Ulama
Pembahasan fiqih yang sering dikutip menjelaskan alasan tiap pendapat: Imam-imam klasik seperti Syekh Abdurrauf al-Munawi, Syekh Syihabuddin al-Qulyubi, dan Ibnu Hajar al-Haytami dijadikan rujukan untuk menegaskan bahwa bacaan Al-Fatihah adalah rukun dan bahwa keraguan punya konsekuensi berbeda berdasarkan waktu kemunculannya.
Dalam karya-karya tersebut dikemukakan: jika ragu di tengah bacaan maka harus diulang; kalau ragu setelah selesai, tidak perlu diperbaiki karena banyaknya lafaz dan potensi gangguan waswas.
Sumber-sumber kontemporer juga menyarankan solusi psikologis-spiritual: bila keraguan terus berulang sampai tingkat waswas yang mengganggu ketenangan ibadah, praktik taghaful (mengabaikan keraguan) dianjurkan — jangan menuruti setiap bisikan keraguan. Darul Ifta Yordania juga memberi panduan serupa untuk kasus waswas kronis: fokus pada fatwa-fatwa ulama mazhab dan bersikap tegas mengabaikan waswas agar tidak terperangkap dalam kebimbangan terus-menerus.
Dampak Sosial-Keagamaan dan Implikasi untuk Umat
Fenomena ragu membaca Al-Fatihah bukan hanya masalah individunya; bila meluas, berpotensi menimbulkan kecemasan kolektif di kalangan jamaah, menurunkan kualitas konsentrasi ibadah, serta menjadi celah eksploitasi konten-konten sensasional di media sosial.
Oleh karena itu, penyuluhan di masjid, majelis taklim, dan sekolah-sekolah Islam perlu memasukkan pendidikan praktis tentang waswas dan teknik menjaga khusyuk — misalnya latihan pengucapan yang benar, pengetahuan rukun shalat, serta teknik menenangkan diri saat waswas menyerang.
Panduan Praktis Menghadapi Ragu Saat Shalat
Berikut langkah konkret yang dapat dipraktikkan oleh jemaah:
Rasulullah ﷺ mengingatkan agar ibadah dilakukan dengan hati yang tenang dan yakin. Hadits tentang pentingnya khusyuk dan tawakkal relevan di sini — ketika keraguan datang, iman menuntun kita untuk kembali pada ilmu dan kesederhanaan tindakan. Seperti firman Allah:
“Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Kalimat ini menguatkan praktik taghaful sebagai penyembuhan waswas.
Dari persoalan ragu membaca Al-Fatihah kita belajar dua hal: ilmu fiqih memberi batasan yang jelas sehingga ibadah tidak sekadar bergantung pada rasa, dan hikmah spiritual mengingatkan agar kita tidak terperangkap oleh bisik-bisik setan yang melemahkan iman.
Untuk umat: pelajari dasar rukun shalat, latih bacaan, dan bila waswas datang berulang, abaikan bisikan itu—kembali kepada ilmu dan guru. Ikuti terus kajian-kajian praktis seperti ini untuk menjaga kualitas ibadah dan ketenangan hati. (DM)
BACA JUGA:
Tinggalkan Balasan