Tenggulangbaru.id – Hari Raya Imlek menjadi momen penuh makna bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Selain sebagai perayaan budaya dan tradisi, momen ini juga digunakan untuk mengenang jasa almarhum KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab dikenal sebagai Gus Dur.
Tidak sedikit Vihara dan Klenteng yang memasang foto Gus Dur sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya dalam menghapus diskriminasi terhadap budaya Tionghoa di tanah air.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat Tionghoa menghadapi tekanan besar akibat kebijakan diskriminatif. Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan di era Soeharto melarang segala bentuk perayaan Imlek dan praktik budaya Tionghoa di ruang publik.
Selama 32 tahun, masyarakat Tionghoa terpaksa menjalankan tradisi secara tertutup, menahan diri agar tetap mempertahankan identitas budaya mereka di tengah tekanan asimilasi.
Menariknya, sebelum kebijakan Orde Baru diterapkan, perayaan Imlek pernah mendapatkan pengakuan resmi. Pada masa pendudukan Jepang, Keputusan Osamu Seirei No. 26 Tahun 1942 menetapkan Imlek sebagai hari libur resmi.
Hal ini bertujuan untuk menghapus pengaruh kolonial Belanda terhadap komunitas Tionghoa. Namun, perubahan kebijakan yang drastis terjadi di era Orde Baru, ketika pemerintah memberlakukan pendekatan represif terhadap budaya Tionghoa.
Tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 membuka jalan bagi era Reformasi. Gus Dur, sebagai presiden keempat Indonesia, mengambil langkah bersejarah dengan mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Ia menggantikannya dengan Inpres No. 6 Tahun 2000, yang membuka ruang bagi masyarakat Tionghoa untuk kembali menjalankan tradisi dan budayanya secara terbuka.
Gus Dur tidak hanya merehabilitasi hak-hak budaya masyarakat Tionghoa, tetapi juga membawa semangat inklusivitas yang lebih luas. Tidak heran jika ia dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
Langkah Gus Dur dalam mengembalikan hak-hak budaya masyarakat Tionghoa diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada tahun 2002, ia menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 19 Tahun 2002.
Kebijakan ini menjadi tonggak penting yang menegaskan komitmen pemerintah dalam menghormati keberagaman budaya di Indonesia.
Selain menghapus diskriminasi budaya, Gus Dur juga memberikan pengakuan terhadap agama Konghucu, yang sebelumnya tidak diakui secara resmi. Melalui kebijakannya, penganut Konghucu mendapatkan hak-hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia. Langkah ini semakin memperkuat posisi Gus Dur sebagai tokoh yang memperjuangkan kesetaraan dan keberagaman.
Jasa Gus Dur terus dikenang hingga hari ini. Banyak netizen yang mengungkapkan rasa terima kasih melalui media sosial, salah satunya Anna Tasya yang menulis, “Sebelumnya selama puluhan tahun, penganut Konghucu tak bisa sepenuhnya mengklaim hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Di masa Gus Dur lah penganut Konghucu mendapatkan hak-hak asasinya.”
Kesimpulannya, Gus Dur bukan hanya seorang tokoh politik, tetapi juga simbol perjuangan melawan diskriminasi dan upaya menciptakan inklusivitas di Indonesia. Kebijakan yang ia ambil tidak sekadar membuka pintu bagi masyarakat Tionghoa untuk menjalankan tradisi mereka secara bebas, tetapi juga memperkuat semangat keberagaman bangsa. Oleh karena itu, tak heran jika sosok Gus Dur begitu dihormati oleh berbagai kalangan, terutama pada setiap perayaan Imlek. (DM)
Tinggalkan Balasan