Tenggulangbaru.id – KH. Abbas Djamil Buntet adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama saat Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Beliau Lahir pada tahun 1879 di Cirebon, KH. Abbas dikenal sebagai sosok yang berani, berilmu tinggi, dan memiliki pengaruh besar. Perannya dalam perang melawan kolonialisme Inggris menjadikannya panutan bagi para pejuang di Jawa Timur dan seluruh Indonesia.
KH. Abbas adalah putra sulung KH. Abdul Jamil, seorang ulama dari Pesantren Buntet, Cirebon. Silsilah keluarga KH. Abbas penuh dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dunia agama dan politik.
Kakeknya, KH. Muta’ad, adalah menantu dari Mbah Muqayyim, pendiri Pesantren Buntet dan salah satu mufti Kesultanan Cirebon. Mbah Muqayyim memilih sikap non-kooperatif terhadap penjajah Belanda dan meninggalkan jabatan mufti di Kesultanan untuk membangun pesantren sebagai bentuk perjuangan.
KH. Abbas Djamil memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pertempuran melawan penjajah di Surabaya pada 1945. Ia adalah salah satu sosok utama yang berperan dalam menyusun “Resolusi Jihad” bersama KH. Hasyim Asy’ari.
Resolusi ini menggerakkan para santri dan ulama dari seluruh penjuru Jawa untuk turun ke medan perang. KH. Abbas sendiri memimpin Laskar Hizbullah, mengirim pasukan dari Cirebon, serta mengatur strategi untuk membantu rakyat Surabaya melawan tentara Inggris.
Sebelum pertempuran dimulai, KH. Hasyim Asy’ari, pemimpin besar NU dan penggagas Resolusi Jihad, menunggu kehadiran KH. Abbas untuk memimpin perjuangan. Setelah mendapatkan restu dari KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abbas dengan tegas memimpin para pejuang di Surabaya.
Beliau dikenal bukan hanya karena kedalaman ilmu agamanya, tetapi juga karena kesaktiannya. Pada masa muda, KH. Abbas pernah diminta KH. Hasyim Asy’ari untuk melindungi Pesantren Tebu Ireng dari gangguan para bromocorah.
Pertempuran Surabaya menjadi saksi keberanian dan karomah KH. Abbas. Diceritakan bahwa ketika perang berlangsung, KH. Abbas meminta para pejuang untuk mengambil wudhu dan berdoa. Ia sendiri memanjatkan doa di tengah medan perang, berharap pertolongan Allah SWT.
Karomah KH. Abbas pun terlihat saat ribuan alu dan lesung yang digunakan oleh rakyat seolah berubah menjadi senjata yang menghantam pasukan Inggris, memaksa mereka mundur dan kembali ke kapal induk.
Para santri di bawah pimpinan KH. Abbas yang berjuang demimempertahankan agama, kemerdekaan, dan martabat bangsa. Mereka tidak mengharapkan pangkat atau pujian, melainkan ikhlas dalam berjuang untuk kedaulatan negeri.
Bagi pejuang, mempertahankan tanah air adalah bagian dari menjaga eksistensi Islam, serta menjaga hak dan kehormatan seluruh masyarakat Indonesia.
Warisan perjuangan KH. Abbas Djamil dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menunjukkan betapa kuatnya tekad para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Generasi masa kini dapat meneladani semangat juang dan sikap patriotik yang telah dicontohkan oleh para santri dan ulama tersebut, yang rela berkorban demi bangsa dan negara.
Melalui kisah heroik ini, diharapkan generasi penerus bangsa dapat menghidupkan kembali nilai-nilai kepahlawanan dan semangat patriotik dalam kehidupan sehari-hari, menjaga kedaulatan, martabat, serta persatuan Indonesia. (DM)
Tinggalkan Balasan