Rezeki dalam Perspektif Islam: Jenis, Prinsip, dan Cara Memperluasnya

By 1 bulan lalu 9 menit membaca

Tenggulangbaru.id – Rezeki adalah pemberian dari Allah SWT yang dianugerahkan kepada semua hamba-Nya, baik yang beriman maupun yang tidak. Rezeki tidak hanya berbentuk harta, tetapi mencakup segala hal yang berasal dari-Nya dan bermanfaat bagi kita. Contohnya, kesehatan, kebahagiaan, keselamatan dari bencana, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya, rezeki memang berasal dari Allah sebagai Sang Pemberi Rezeki, namun seringkali datang melalui perantara makhluk-Nya atas kehendak-Nya. Ketahuilah, seseorang tidak akan meninggal sebelum seluruh rezekinya diberikan sesuai dengan ketetapan Allah SWT.

Secara etimologis, kata “rezeki” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “rozaqo – yarzuqu – rizqon,” yang berarti “memberi” atau “pemberian.” Dari sini, dapat disimpulkan bahwa rezeki adalah segala hal yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya yang dapat dimanfaatkan.

Dari definisi tersebut bisa dipahami bahwa rezeki tidak hanya terbatas pada jumlah pendapatan, gaji, atau kekayaan. Arti rezeki jauh lebih luas dari itu. Kesehatan, udara yang kita hirup, hujan yang turun, keluarga, kecerdasan, keselamatan dari musibah, dan banyak hal lainnya termasuk dalam rezeki Allah SWT.

Termasuk di dalamnya adalah hidayah Islam, pemahaman agama, kesempatan melakukan amal sholeh, hingga husnul khatimah dan mati syahid. Semua ini adalah bagian dari rezeki Allah SWT yang begitu besar, yang tak terhitung jumlahnya, dan dianugerahkan kepada seluruh makhluk-Nya.

Nasihat Ulama tentang Rezeki

Dalam hal rezeki, ada sebuah nasihat dari seorang ulama besar abad ke-20, yaitu Syaikh Prof. Dr. Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi As-Syafi’i rahimahullah, yang dikenal sebagai Imam Ad-Du’ati (Pemimpin Para Da’i) dan merupakan ulama terkenal di Mesir. Beliau pernah mengatakan:

إنْ كُنْتَ لَا تَعْرِفُ عُنْوَانَ رِزْقِكَ * فَإنَّ رِزْقَكَ يَعْرِِفُ عُنْوَانَكَ

“Jika kamu tidak tahu di mana tempat rezekimu berada, sesungguhnya rezekimu tahu di mana tempatmu berada.”

Banyak orang sering merasa gelisah, khawatir, dan takut bahwa rezeki mereka tidak akan datang, atau merasa bahwa rezeki mereka akan berkurang karena situasi atau keadaan yang tidak diinginkan. Kecemasan ini sering kali membuat orang-orang terganggu pikirannya, bahkan sulit tidur, karena mereka terus memikirkan bagaimana mendapatkan rezeki berupa uang seperti yang diharapkan.

Bagi banyak orang, rezeki hanya dipersepsikan sebagai uang, atau sesuatu yang berwujud materi yang dapat dipegang dan dilihat. Hal-hal lain sering dianggap hanya sebagai pelengkap atau tambahan kenikmatan yang bisa dibeli dengan uang tersebut.

Padahal, jika kita memahami konsep rezeki dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut rezeki sebagai bagian dari rahmat yang diturunkan dari langit, berkah yang berasal dari dalam bumi, dan kenikmatan yang muncul dari ditundukkannya seluruh alam semesta untuk kemaslahatan manusia.

Tiga Prinsip Tentang Rezeki Menurut Ajaran Islam

Ada tiga prinsip penting tentang rezeki yang perlu dipahami. Prinsip pertama adalah bahwa

Prinsip Pertama:

Allah SWT telah menjamin rezeki bagi semua makhluk, baik yang berakal maupun tidak berakal. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini, salah satunya adalah firman Allah SWT berikut:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Tidak ada satu pun makhluk yang bergerak di bumi ini kecuali Allah yang menjamin rezekinya.” (QS. Hud: 6)

Ini menunjukkan bahwa Allah SWT telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya. Tidak ada satupun yang hidup di muka bumi ini yang tidak mendapatkan rezeki, karena itu adalah bagian dari janji Allah.

Prinsip Kedua:

Setiap manusia tidak akan meninggal sebelum seluruh jatah rezekinya di dunia diselesaikan. Setiap jiwa pasti menerima rezekinya sampai ajal tiba. Ajal adalah batas waktu hidup seseorang di dunia, yang mencakup segala bentuk rezeki dan amal kebaikannya. Batas ini tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh siapa pun.

Ajal sendiri berasal dari kata Arab “ajala” yang berarti “menahan” atau “mengakhirkan”. Dalam konteks kehidupan, ajal bermakna “batas waktu” yang diberikan oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Setiap umat memiliki batas waktu. Ketika waktu itu tiba, mereka tidak dapat menundanya barang sesaat pun, dan tidak dapat pula memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

Rasulullah SAW juga bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ، فَلَا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ، خُذُوا مَا حَلَّ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ»  رواه البيهقي

“Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada di antara kalian yang akan meninggal sebelum sempurna rezekinya. Maka jangan merasa rezeki kalian tertunda, bertakwalah kepada Allah, dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Al-Baihaqi)

Hal ini menunjukkan bahwa ketika ajal tiba, rezeki seseorang pun telah habis dan amalnya di dunia selesai. Sesuai dengan keterangan dalam Kitab Syarhus Sunnah  karya Imam Al-Muzani, murid dan sahabat dekat Imam As-Syafi’i, beliau menyatakan:

وَالخَلْقُ مَيِّتُوْنَ بِآجاَلِهِمْ عِنْدَ نَفَادِ أَرْزَاقِهِمْ وَانْقِطَاعِ آثَارِهِمْ

“Setiap makhluk akan mati pada waktunya, ketika rezekinya habis dan amalannya telah berakhir.”

Ini menegaskan bahwa ajal dan umur memiliki makna yang berbeda. Ajal adalah waktu yang telah ditentukan oleh Allah untuk seseorang, sedangkan umur adalah masa kehidupan yang diisi dengan berbagai amal dan kebaikan. Mungkin seseorang memiliki ajal yang panjang, namun jika kehidupannya tidak dipenuhi dengan kebaikan, maka umurnya bisa dianggap pendek.

Sebaliknya, ada orang yang ajalnya singkat namun umurnya dianggap panjang karena ia terus memberikan manfaat melalui amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau kontribusi lainnya, meskipun jasadnya telah tiada.

Prinsip Ketiga:

Hakikat rezeki, rezeki adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Namun, tidak semua yang dikumpulkan seseorang benar-benar menjadi rezekinya.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad SAW bersabda:

يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

“Manusia sering berkata, ‘Hartaku… hartaku…,’ padahal sesungguhnya hartamu – wahai manusia – hanyalah apa yang kamu makan hingga habis, apa yang kamu pakai sampai usang, dan apa yang kamu sedekahkan, yang akan tersisa di Hari Kiamat.” (HR. Imam Ahmad)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa apa yang dianggap sebagai harta atau kekayaan oleh manusia, pada akhirnya hanya yang benar-benar digunakan yang akan menjadi rezekinya. Apa yang dikonsumsi, dipakai, atau diberikan kepada orang lain dalam bentuk sedekah adalah rezeki yang sesungguhnya.

Jenis-Jenis Rezeki

Perlu dipahami bahwa rezeki dapat hadir dalam berbagai bentuk.

Rezeki Bersifat Umum

Rezeki yang bersifat umum, yaitu segala sesuatu yang memberi manfaat fisik seperti harta, rumah, kendaraan, kesehatan, dan lainnya, baik yang diperoleh dari sumber halal maupun haram. Rezeki ini diberikan oleh Allah SWT kepada semua makhluk-Nya, baik kepada orang yang beriman maupun yang tidak beriman.

Rezeki Bersifat Khusus

Lain halnya dengan Rezeki yang bersifat khusus, yaitu segala sesuatu yang membantu menegakkan agama seseorang. Rezeki ini mencakup ilmu yang bermanfaat, amal shaleh, dan semua hal yang diperoleh secara halal dan membantu seseorang untuk taat kepada Allah SWT. Termasuk dalam rezeki ini adalah mendapatkan teman yang saleh. Inilah rezeki yang sejati, yang membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rezeki jenis ini diberikan khusus kepada orang-orang yang dicintai Allah SWT, dan sebagai balasan, mereka akan mendapatkan surga di akhirat.

Jadi, selain harta benda, rezeki sejati adalah yang membawa manfaat bagi kehidupan spiritual dan agama seseorang. Itulah rezeki yang sebenarnya, yang akan terus kekal hingga kehidupan di akhirat kelak.

Setelah memahami hakikat rezeki, seharusnya manusia lebih termotivasi untuk meraih kebahagiaan akhirat, tanpa melupakan peranannya di dunia. Jangan hanya sibuk mengejar kekayaan dunia hingga melupakan kehidupan setelah mati. Harta yang dimiliki dan kesehatan yang dirasakan seharusnya menjadi dorongan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan semata-mata untuk kepentingan duniawi.

Oleh karena itu, marilah bekerja secara seimbang. Jangan melanggar aturan halal-haram, serta jangan melupakan ibadah kepada Allah SWT, yang sebenarnya adalah Sang Pemberi dan Penjamin rezeki kita.

Allah SWT berfirman:

كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى

“Makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sungguh dia telah binasa.” (QS. Thaha: 81)

Dalam sebuah hadis disebutkan:

“Seandainya anak Adam lari dari rezekinya seperti ia lari dari kematian, maka rezekinya akan mengejarnya, sebagaimana kematian pasti mengejarnya.” (HR. Imam Ibnu Hibban)

Dengan pemahaman ini, kita diajak untuk menjalani kehidupan dunia dengan penuh tanggung jawab, tanpa melupakan tujuan akhir kita di akhirat.

Ikhtiar Memperluas Rezeki

Salah satu upaya untuk memperluas rezeki adalah dengan meningkatkan tiga hal utama, yaitu ilmu, ibadah, dan sedekah. Ketiga hal ini sering disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai kunci utama dalam memperoleh rezeki yang berlimpah.

Bagi seorang hamba yang taat beribadah hanya demi mencari ridha Allah SWT, dengan konsistensi dan keikhlasan, ada peluang besar untuk memperoleh rezeki yang tak terduga.

Allah SWT berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan salat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki dari kamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akhir yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Rezeki sejatinya tidak tergantung pada seberapa keras kita mengejarnya, melainkan pada seberapa baik kita memperbaiki kualitas ibadah kita. Dengan meningkatkan ibadah dan berikhtiar mencari rezeki yang halal, insya Allah rezeki akan semakin luas dan penuh berkah. Yakinlah pada janji-Nya, dan kita akan melihat buktinya dalam kehidupan kita.

Syukur Atas Rezeki yang Beragam

Kita harus bersyukur karena Allah SWT dengan kasih sayang-Nya melimpahkan banyak nikmat dan rezeki kepada manusia. Seperti yang sudah dijelaskan, rezeki tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga kesehatan fisik dan spiritual, anak yang saleh, serta teman yang baik. Semua itu adalah bentuk rezeki yang harus kita syukuri. Namun, apa sebenarnya rezeki yang paling sempurna?

Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, seorang ulama besar Mesir, pernah berkata:

المَالُ هُوَ أَدْنَى دَرَجَاتِ الرِّزْقِ. والعَافِيَةُ أَعْلَى دَرَجَاتِ الرِّزْقِ. وصَلَاحُ الأَبْنَاءِ أَفْضَلُ أنْوَاعِ الرِّزْقِ. ورِضَا رَبِّ العَالَمِينَ فَهُوَ تَمَامُ الرِّزْق

“Harta adalah rezeki yang paling rendah. Kesehatan adalah rezeki yang paling tinggi. Anak yang saleh adalah rezeki yang paling utama. Sedangkan ridha Allah adalah rezeki yang sempurna.”

Amalan untuk Memperlancar Rezeki dan Mempermudah Menikah

Berikut ini adalah beberapa amalan yang dianjurkan untuk memperlancar rezeki dan mempermudah kesempatan menikah, yang diijazahkan oleh Maulana Syaikh Dr. Dr. Yusri Rusydi Al-Hasani hafidhahullah kepada kaum Muslimin:

  1. Menjaga hubungan silaturahmi
  2. Berbakti kepada orang tua (Birrul Walidain)
  3. Mencari penghasilan yang halal
  4. Membaca “Ya Fattah Ya Razaq” sebanyak 100 kali setelah setiap shalat fardhu
  5. Membaca Surah Al-Waqi’ah setelah shalat sunnah Isya’ 2 rakaat
  6. Melazimkan (istiqamah) membaca Shalawat Nabi

Selain itu, ada amalan yang dapat menolak keburukan dari langit dan bumi, serta mengabulkan 70 keinginan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Amalan ini disebutkan dalam Kitab *Khozinatul Asror* halaman 30, dan istiqamah diamalkan oleh Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Am PBNU 1999-2010. Berikut adalah amalan tersebut:

Amalan Shalat Dhuha 4 Rakaat

Lakukan shalat Dhuha 4 rakaat dengan rincian berikut:

  • Rakaat pertama: Membaca Al-Fatihah 10 kali dan Ayat Kursi 10 kali.
  • Rakaat kedua: Membaca Al-Fatihah 10 kali dan Surah Al-Kafirun 10 kali.
  • Rakaat ketiga: Membaca Al-Fatihah 10 kali dan Surah Al-Falaq 10 kali.
  • Rakaat keempat: Membaca Al-Fatihah 10 kali dan Surah Al-Ikhlas 10 kali.

Wirid Setelah Shalat Dhuha

Setelah melaksanakan shalat Dhuha, baca wirid berikut:

  1. Istighfar sebanyak 70 kali
  2. Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar, wa laa hawla wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim sebanyak 70 kali
  3. Ditutup dengan membaca “Ya Sami’, Ya Bashir” sebanyak 313 kali (tambahan dari Mbah Yai Shabib).

Semoga amalan-amalan ini menjadi wasilah untuk memperlancar rezeki dan mempermudah segala urusan, termasuk urusan jodoh. Wallahu A’lam bis Showab.
(DM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Recent Posts

x
x
Rezeki dalam Perspektif Islam: Jenis, Prinsip, dan Cara Memperluasnya - Tenggulang Baru
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%