Kebijakan Pemerintah dalam Tata Kelola Pemerintahan Desa

By 5 tahun lalu 37 menit membaca

Di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002: 66).

 

Berdasarkan konstruksi pembagian satuan wilayah administrasi pemerintahan tersebut, maka penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan secara nasional, sehingga keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan secara nasional turut ditentukan oleh efetivitas penyelenggaraan pemerintahan desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pemerintah Desa mempunyai tugas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

 

 Baca Juga: PERDES PHBS

 

Kewenangan Desa meliputi:

  1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  2. kewenangan lokal berskala Desa;
  3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
  4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa meletakkan posisi desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sesuai hak asal usul desa, sehingga otonomi desa diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Repubik Indonesia.

Di sisi lain, dalam posisi Desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan secara nasional dan jajaran terdepan dalam penyelenggaraan pemerintahan secara nasional, maka desa juga diberi kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagai konsekwensi dari keberadaan Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan.

Selain kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, desa juga memperoleh kewenangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU. No.6 Tahun 2014 meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Pasal 94 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan :

  • Desa mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
  • Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa
  • Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
  • Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.

Pasal 95 UU Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan :

  • Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.
  • Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa
  • Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat

Disini kita akan uraikan hal-hal pokok tentang: Latar Belakang lahirnya UU tentang Desa, Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pemerintahan desa, Perbedaan Tata Kelola Pemerintahan Desa dan Kewenangan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 dengan UU Nomor 6 Tahun 2014, Makna Kelembagaan Desa dan Jenis-Jenis Kelembagaan di Desa, Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kelembagaan Desa dan Hubungan antar Kelembagaan Desa.

 

 Baca Juga: Membangun Desa Lewat Gotong Royong

 


LATAR BELAKANG LAHIRNYA UU 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

-Videografik UU Nomor 6 Tahun 2014-

 

 

 Dasar Pemikiran

Dalam  rangka menjawab berbagai  persoalan  di atas, salah satu grand  strategi yang sangat perlu dan mendesak adalah  mengatur  Desa dalam  level Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.   Ada  beberapa argumen penting yang melandasinya lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu:

  1. Argumen historis

Pertama,  Desa-Desa  yang beragam  di seluruh Indonesia  sejak dulu merupakan basis penghidupan masyarakat  setempat, yang notabene  mempunyai otonomi  dalam mengelola  tatakuasa  dan  tatakelola  atas  penduduk, pranata   lokal  dan  sumberdaya ekonomi.

Pada  awalnya  Desa  merupakan organisasi  komunitas  lokal yang mempunyai batas-batas  wilayah,  dihuni  oleh  sejumlah  penduduk, dan  mempunyai adat-istiadat untuk    mengelola    dirinya   sendiri.       Inilah   yang   disebut    dengan    self-governing community. Sebutan  Desa  sebagai  kesatuan  masyarakat   hukum  baru  dikenal  pada masa kolonial Belanda.  Desa pada  umumnya  mempunyai pemerintahan sendiri yang dikelola  secara  otonom  tanpa  ikatan  hirarkhis-struktural  dengan  struktur  yang lebih tinggi.   Di Sumatera Barat, misalnya, nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara  otonom  dan  berbasis pada  masyarakat  (self- governing community).

Desa-Desa di Jawa sebenarnya juga menyerupai “republik kecil”, dimana pemerintahan Desa dibangun  atas dasar prinsip kedaulatan rakyat. Trias politica yang diterapkan dalam negara-bangsa modern  juga diterapkan secara tradisional dalam pemerintahan Desa. Desa-Desa  di Jawa, mengenal  Lurah (kepala Desa) beserta perangkatnya   sebagai  badan   eksekutif,  Rapat  Desa  (rembug  Desa)  sebagai  badan legislatif yang memegang  kekuasaan  tertinggi, serta  Dewan  Morokaki  sebagai  badan yudikatif  yang  bertugas  dalam  bidang  peradilan   dan  terkadang   memainkan  peran sebagai badan  pertimbangan bagi eksekutif (Soetardjo Kartohadikoesoemo, 1984).

Kedua,   secara   historis,  semua   masyarakat   lokal  di  Indonesia   mempunyai kearifan  lokal  secara  kuat  yang  mengandung  roh  kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan, terutama  dalam  mengelola  sumberdaya alam dan  penduduk. Diantara kearifan-kearifan  lokal tersebut,   ada  beberapa aturan  hukum  adat    yang  mengatur masalah  pemerintahan,  pengelolaan sumberdaya, hubungan sosial, dan  seterusnya. Pada prinsipnya aturan lokal itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan hubungan antar  manusia  dan  hubungan antara  manusia  dengan  alam dan Tuhan.

  1. Argumen filosofis-konseptual

Pertama,  Secara  filosofis  jelas bahwa  sebelum  tata  pemerintahan di atasnya ada, Desa itu lebih dulu ada. Oleh  karena  itu sebaiknya Desa harus menjadi  landasan dan  bagian  dari tata  pengaturan pemerintahan sesudahnya. Desa  yang memiliki tata pemerintahan yang lebih  tua,  seharusnya  juga menjadi  ujung  tombak  dalam  setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Kedua,  mengikuti  pendapat Prof.  Mr  J  de  Louter,  seorang  ahli  tata  negara Belanda  dan  F. Laceulle dalam  suatu  laporannya  yang menyatakan bahwa  bangunan hukum  Desa  merupakan fundamen bagi tatanegara  Indonesia (Sutardjo, 1984:  39). Artinya bahwa  bangsa dan negara sebenarnya terletak di Desa, maka pengaturan Desa dalam  Undang-Undang adalah  sangat mendesak karena  jenis dan  hierarki peraturan perundang-undangan ini akan  menentukan luasnya  jangkauan  pengaturan mengenai Desa.  Artinya pengaturan dalam  Undang-Undang ini akan  menentukan pula  maju mundurnya Desa yang berimplikasi pada pemerintahan yang ada di atasnya.

Otonomi   dan  demokrasi  Desa  yang  akan  dibingkai  dengan   undang-undang tentang  Desa  bukan  sekadar  perkara  kelembagaan  semata,  melainkan   mempunyai dasar  filosofis yang  dalam.   Kita  membutuhkan  bangsa  yang  mandiri-bermartabat, butuh  negara  (pemerintah) yang kuat  (berkapasitas  dan  bertenaga) dan  demokratis. Upaya  penguatan otonomi  daerah  dan  “otonomi  Desa” menjadi  bagian dari cita-cita itu, sekaligus hendak  membangun imajinasi Indonesia  yang kuat dan  sempurna, yang melampui   (beyond)  sentralisme  dan  lokalisme.  NKRI  akan  menjadi  lebih  kuat  bila ditopang  oleh  kedaulatan  rakyat  serta  kemandirian lokal (daerah  dan  Desa),  yakni pusat  yang  “menghargai”  lokal  dan  lokal  yang  “menghormati” pusat.  Kemandirian Desa akan menjadi  fondasi dan kekuatan  NKRI dan imajinasi Indonesia itu. Jika Desa selamanya    marginal   dan   tergantung,    maka   justru   akan   menjadi    beban    berat pemerintah  dan   melumpuhkan  fondasi  NKRI.  Kedepan   kita  membutuhkan  Desa sebagai  entitas  lokal yang bertenaga   secara  sosial, berdaulat   secara  politik,  berdaya secara ekonomi  dan bermartabat secara budaya.

Ketiga, UU  tentang  Desa  merupakan instrumen  untuk membangun  visi  menuju   kehidupan  baru   Desa   yang  mandiri,   demokratis   dan sejahtera.   Apa  maknanya? 

Pertama,  kemandirian   Desa  bukanlah   kesendirian   Desa dalam menghidupi dirinya sendiri. Kemandirian Desa tentu tidak berdiri di ruang yang hampa  politik, tetapi juga terkait dengan  dimensi keadilan yang berada  dalam konteks relasi  antara   Desa  (sebagai  entitas  lokal)  dengan   kekuatan   supra Desa   (pusat  dan daerah)  yang lebih  besar.    Secara  lokal-internal,  kemandirian  Desa  berarti  kapasitas dan  inisiatif lokal yang kuat.  Inisiatif lokal adalah  gagasan,  kehendak dan  kemauan entitas Desa yang berbasis pada kearifan lokal, komunalisme  dan modal sosial (kepemimpinan, jaringan dan  solidaritas sosial). Dengan  demikian,  inisiatif lokal yang kuat merupakan fondasi lokal bagi kemandirian Desa.

Tetapi  inisiatif lokal ini tidak  bakal tumbuh  dengan  baik jika tidak  ada  ruang yang  memungkinkan  (enabling)  untuk  tumbuh. Regulasi yang  mengandung banyak instruksi   dan    intervensi    tentu    akan    menumpulkan   inisiatif   lokal.   Karena   itu kemandirian Desa  membutuhkan kombinasi  dua  hal:  inisiatif lokal dari  bawah  dan respons kebijakan. Dari atas dibutuhkan pengakuan (rekognisi) negara terhadap keberadaan entitas  Desa  dan  termasuk  organisasi  masyarakat  adat,  yang  kemudian dilanjutkan  dengan  penetapan hak,  kekuasaan,   kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab  kepada  Desa.  Kewenangan  memungkinkan Desa  mempunyai kesempatan dan  tanggungjawab  mengatur  rumah  tangganya  sendiri dan  kepentingan masyarakat setempat, yang sekaligus akan menjadi  bingkai bagi Desa untuk membuat perencanaan lokal. Perencanaan Desa akan memberikan keleluasaan  dan kesempatan bagi Desa untuk menggali inisiatif lokal (gagasan, kehendak dan kemauan lokal), yang kemudian dilembagakan menjadi kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan Desa. Kemandirian    itu   sama   dengan    otonomi    Desa.   Gagasan   otonomi    Desa sebenarnya mempunyai relevansi (tujuan dan manfaat) sebagai berikut:

  • Memperkuat kemandirian Desa sebagai basis kemandirian NKRI.
  • Memperkuat posisi Desa sebagai subyek pembangunan;
  • Mendekatkan perencanaan pembangunan ke masyarakat;
  • Memperbaiki pelayanan  publik dan pemerataan pembangunan;
  • Menciptakan efisiensi pembiayaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan lokal;
  • Menggairahkan ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat Desa;
  • Memberikan kepercayaan, tanggungjawab    dan   tantangan    bagi   Desa  untuk membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;
  • Menempa kapasitas Desa dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan;
  • Membuka arena pembelajaran  yang  sangat   berharga   bagi  pemerintah  Desa,  lembaga-lembaga Desa dan masyarakat.
  • Merangsang tumbuhnya partisipasi masyarakat lokal.

Kedua,   demokrasi    adalah    nilai   dan   sistem   yang   memberi    bingkai   tata pemerintahan  Desa.   Secara   konseptual   demokrasi   mengandung  sejumlah   prinsip dasar:   representasi,  transparansi,   akuntabilitas,   responsivitas   dan   partisipasi,   yang semua  prinsip  ini  menjadi  fondasi  dasar  bagi  pengelolaan  kebijakan,  perencanaan Desa,  pengelolaan keuangan  Desa  dan  pelayanan  publik.  Kalau prinsip-prinsip  dasar ini tidak  ada  di Desa,  maka  akan  muncul  “penguasa  tunggal”  yang otokratis,  serta kebijakan dan keuangan  Desa akan berjalan  apa adanya  secara rutin, atau bisa terjadi kasus-kasus bermasalah  yang merugikan rakyat Desa. Demokrasi Desa akan membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya kepada  pemerintah Desa.   Aspirasi adalah  fondasi kedaulatan rakyat yang sudah   lama  diamanatkan  dalam   konstitusi.  Demokrasi   juga  menjadi   arena   untuk mendidik  mental  dan  kepribadian rakyat agar mereka  lebih mampu, mandiri,  militan dan  mempunyai kesadaran  tentang  pengelolaan barang-barang  publik  yang mempengaruhi hidup  mereka.  Pendidikan  dan  pembelajaran ini penting,  mengingat masyarakat cenderung pragmatis secara ekonomi  dan konservatif secara politik, akibat dari perkembangan zaman yang mengutamakan orientasi material.

Ketiga, isu kesejahteraan mencakup dua  komponen besar,  yakni penyediaan layanan   dasar   (pangan,   papan,   pendidikan  dan   kesehatan)   dan   pengembangan ekonomi  Desa  yang berbasis  pada  potensi  lokal.   Kemandirian  dan  demokrasi  Desa merupakan   alat   dan    peta    jalan   untuk    mencapai   kesejahteraan   rakyat   Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi sumberdaya kepada  Desa, dan demokrasi memungkinkan pengelolaan sumberdaya Desa berpihak  pada  rakyat Desa. Hak Desa untuk mengelola  sumberdaya alam, misalnya, merupakan modal yang sangat berharga bagi ekonomi  rakyat Desa.

Demikian  juga dengan  alokasi dana  Desa yang lebih besar akan  sangat  bermanfaat  untuk  menopang fungsi  Desa  dalam  penyediaan  layanan dasar warga Desa.  Namun,  kesejahteraan rakyat Desa yang lebih optimal  tentu  tidak mungkin  mampu  dicakup  oleh  pemerintah Desa semata,  karena  itu dibutuhkan  juga kebijakan    pemerintah   yang   responsif   dan   partisipatif,   yang   berorientasi    pada perbaikan  pelayanan  dasar dan pengembangan ekonomi  lokal.

 

  1. Argumen Yuridis

Pertama,   Undang-undang  Dasar   1945   mengamanatkan  dalam   Pasal  18b adanya   kesatuan   masyarakat   hukum   adat. Hal ini berarti  bahwa  Desa sebagai susunan  pemerintahan terendah di Indonesia  mempunyai identitas  dan  entitas  yang berbeda dan perlu di atur tersendiri dalam bentuk  Undang-Undang. Selain itu, usulan mengenai  pentingnya  Undang-undang mengenai  Desa  ini dikemukakan oleh  Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang  kekuasaan  legislatif.

Sejumlah  isu  yang  terkandung  UUD  1945  tentu  membutuhkan penjabaran lebih   lanjut   dalam   bentuk   undang-undang.  Termasuk   pasal   18   yang  mengatur keberadaan  daerah   besar   dan   kecil.  Pasal  18   itu  berbunyi:   Pembagian   daerah Indonesia  atas  daerah   besar  dan  kecil,  dengan   bentuk   susunan   pemerintahannya ditetapkan dengan  undang-undang, dengan  memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam  sistem  pemerintahan negara,  dan  hak-hak  asal-usul  dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Desa sebenarnya termasuk  daerah-daerah kecil yang mempunyai hak-hak asal-usul dan bersifat istimewa. Dalam penjelasan  juga ditegaskan:   “Daerah   Indonesia  akan   dibagi   dalam   daerah   propinsi   dan   daerah propinsi  akan  dibagi  pula  dalam  daerah  yang lebih  kecil’. Ini berarti  bahwa  daerah yang lebih kecil mencakup kabupaten/kota dan Desa, atau setidaknya undang-undang juga  harus  memberi   kedudukan yang  tepat  keberadaan Desa  yang  telah  ada  jauh sebelum  NKRI lahir, dan  Desa pada  masa kolonial juga telah diatur tersendiri  (Yando Zakaria, 2002).

Kedua, pengakuan dan  penghormatan negara terhadap  Desa dalam  konstitusi sebenarnya  nampak    jelas   (Yando  Zakaria,   2002).   Dalam   penjelasan    Pasal   18 disebutkan  bahwa:  Dalam territoir Negara Indonesia  terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, negeri  di  Minangkabau,   dusun  dan  marga  di  Palembang  dan  sebagainya.  Daerah- daerah   itu  mempunyai  susunan  asli,  dan  oleh  karenanya   dapat   dianggap  sebagai daerah  yang bersifat istimewa. 

Kalimat ini menegaskan bahwa  NKRI harus mengakui keberadaan Desa-Desa  di  Indonesia  yang  bersifat  beragam.  Konsep  zelfbesturende landchappen identik  dengan  Desa  otonom  (local self government) atau  disebut  Desa Praja yang kemudian dikenal  dalam  UU No.  19/1965, yakni Desa  sebagai  kesatuan masyarakat  hukum   yang  berhak   dan   berwenang  mengatur   dan  mengurus   rumah tangganya sendiri.   Sedangkan  konsep  volksgetneenschappen identik dengan  kesatuan masyarakat hukum  adat atau menurut orang Bali disebut dengan  “Desa adat” atau self governing community. Zelfbesturende  landchappen akan mengikuti azas desentralisasi (pemberian)  dan   volksgetneenschappen  akan   mengikuti   azas  rekognisi/pengakuan (meski azas ini tidak dikenal dalam semesta teori desentralisasi).Namun    keragaman    dan    pembedaan   zelfbesturende  landchappen    (Desa otonom)  dan   volksgetneenschappen  (Desa  adat)  itu  lama   kelamaan   menghilang, apalagi  di  zaman   Orde   Baru  UU  No.  5/1979   melakukan   penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan Desa otonom  dan bukan Desa adat.

Lebih memprihatinkan lagi, UUD  1945  Amandemen  Kedua  malah  menghilangkan  istilah Desa.  Pasal 18 ayat 1 menegasakan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia  dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah  provinsi  itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap  provinsi, kabupaten dan  kota mempunyai pemerintahan daerah  yang diatur dengan  undang-undang”. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara  mengakui  dan menghormati  kesatuan-kesatuan  masyarakat  hukum   adat  beserta   hak-hak tradisionalnya  sepanjang  masih  hidup  dan  sesuai dengan  perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,  yang diatur dalam undang-undang”.Meskipun   istilah  Desa  hilang  dalam   UUD  1945   amandemen  ke-2,  tetapi klausul  “Negara  mengakui  dan  menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat  hukum adat   beserta   hak-hak   tradisionalnya…”   berarti   mengharuskan  negara   melakukan rekognisi  terhadap  kesatuan-kesatuan masyarakat   hukum   adat,   yang  di  dalamnya mencakup  Desa,  nagari,  mukim,  huta,   sosor,  kampung,   marga,  negeri,  parangiu, pakraman, lembang  dan  seterusnya.    UU  No.  22/1999 dan  UU  No.  32/2004 telah memberikan pengakuan itu dan  secara  nasional  melakukan  penyebutan Desa  (atau dengan  nama  lainnya). Pengakuan  diberikan  kepada  eksistensi Desa (atau nama  lain) beserta   hak-hak   tradisionalnya   hak  asal-usul.  Kebijakan  yang  sama   juga  terlihat misalnya dalam UU No. 11/2006 tentang  Pemerintahan Aceh yang mengakui  kembali keberadaan mukim  (berada di tengah  kecamatan dan  Desa/gampong),  yang selama Orde   Baru  mukim   dihilangkan   dari  struktur   hirarkhis  dan   hanya   menempatkan gampong sebagai Desa.

Ketiga, penyerahan urusan/kewenangan dari kabupaten/kota kepada  Desa sebenarnya tidak dikenal  dalam  teori desentralisasi.  Karena itu jika UU Desa disusun terpisah dari UU Pemda,  hal ini akan semakin mempertegas amanat  dan makna  Pasal 18   UUD   1945,    sekaligus   akan   semakin   memperjelas   posisi   (kedudukan)   dan kewenangan Desa atau memperjelas makna otonomi  Desa.

 

  1. Argumen Sosiologis

Pertama, secara  sosiologis, jelas bahwa  untuk  menciptakan masyarakat  adil dan  makmur  seperti  yang  diamanatkan  dalam  Pembukaan  Undang-Undang  Dasar 1945,  bangsa  Indonesia  harus  memulai  paradigma  pembangunan dari bawah  (Desa) karena  sebagian besar penduduk Indonesia  beserta  segala permasalahannya tinggal di Desa.  Tetapi  selama  ini,   pembangunan cenderung berorientasi  pada  pertumbuhan dan  bias  kota.  Sumberdaya   ekonomi  yang  tumbuh   di  kawasan  Desa  diambil  oleh kekuatan  yang lebih  besar,  sehingga Desa  kehabisan  sumberdaya dan  menimbulkan arus urbanisasi penduduk Desa ke kota.   Kondisi ini yang menciptakan ketidakadilan, kemiskinan maupun keterbelakangan senantiasa melekat pada Desa.

Kedua, ide dan pengaturan otonomi Desa kedepan dimaksudkan  untuk memperbaiki   kerusakan-kerusakan   sosial,   budaya    ekonomi    dan    politik   Desa. “Otonomi  Desa”   hendak   memulihkan   basis  penghidupan  masyarakat   Desa,   dan secara  sosiologis hendak   memperkuat  Desa  sebagai  entitas  masyarakat  paguyuban yang  kuat  dan   mandiri,   mengingat   transformasi  Desa   dari  patembayan  menjadi paguyuban  tidak berjalan  secara alamiah sering dengan  perubahan zaman,  akibat dari interupsi negara (struktur kekuasaan  yang lebih besar).

Ketiga,    pengaturan  tentang   otonomi   Desa  dimaksudkan  untuk   merespon proses globalisasi, yang ditandai  oleh proses liberalisasi (informasi, ekonomi,  teknologi, budaya,  dan  lain-lain) dan   munculnya  pemain-pemain ekonomi  dalam  skala global. Dampak  globalisasi dan  ekploitasi  oleh  kapitalis global tidak mungkin  dihadapi  oleh lokalitas,  meskipun   dengan   otonomi   yang  memadai.    Tantangan   ini  memerlukan institusi yang lebih  kuat  (dalam hal ini negara)  untuk  menghadapinya. Oleh  karena diperlukan    pembagian   tugas   dan   kewenangan   secara   rasional   di   negara   dan masyarakat agar dapat  masing-masing bisa menjalankan fungsinya.  Prinsip dasar yang harus dipegang  erat dalam pembagian tugas dan kewenangan tersebut  adalah  Daerah dan  Desa  dapat   dibayangkan   sebagai  kompartemen-kompartemen  fleksibel  dalam entitas  negara.    Berikutnya,  ketiganya  memiliki  misi yang  sama  yaitu  mewujudkan kesejahteraan masyarakat,  bahkan  yang lebih mendasar adalah  survival ability bangsa. Otonomi Desa adalah  instrumen  untuk  menjalankan misi tersebut.    Oleh  karena  itu, tidak  tepat  kalau  dalam  otonomi   daerah   atau  Desa  justru  melemahkan bangunan NKRI atau survival ability bangsa.  Ini mungkin terjadi kalau tidak ada pengaturan tepat antara  peran  negara,  daerah  dan  Desa.   Perlu diingat bahwa  negara  tidaklah sekedar agregasi daerah-daerah atau Desa-Desa  yang otonom. (Hastu, 2007). Spirit Desa bertenaga sosial, berdaulat  secara  politik, berdaya  secara  ekonomi  dan  bermartabat secara  budaya  sebenarnya menjadi  cita-cita  dan  fondasi  lokal-bawah  yang memperkauat negara-bangsa  (Sutoro Eko, 2007;  AMAN, 2006).

 

  1. Argumen Psikopolitik

Pertama,  sejak kemerdekaan sebenarnya Indonesia telah berupaya untuk menentukan posisi dan  format  Desa  yang  tepat  sesuai  dengan  konteks  keragaman lokal.   Perdebatan   terus   berlangsung    mengawali    penyusunan   UU,   tetapi    sulit membangun  kesepakatan politik.  UU  No.  19/1965 tentang  Desa  Praja  sebenarnya merupakan  puncak   komitmen   dan   kesepakatan  politik  yang  mendudukkan  Desa sebagai  daerah  otonom  tingkat  III. Tetapi  karena  perubahan paradigma  politik dari Orde  Lama ke Orde  Baru, UU tersebut  tidak berlaku.

Selama  puluhan  tahun  pencarian tentang  posisi dan  format  Desa  betul-betul mengalami   kesulitan   yang  serius.  Mendiang   Prof.  Selo  Soemardjan   (1992)  selalu menyoroti  betapa  sulitnya menempatkan posisi dan format Desa. Demikian tuturnya:

“Mengenai pembentukan daerah-daerah administratif pada umumnya  tidak dijumpai masalah-masalah yang berarti, baik secara hukum  maupun  politis. Sebaliknya menghadapi  Desa, negeri, marga dan sebagainya yang diakui sebagai daerah  istimewa  tampaknya  ada berbagai pendapat  yang berbeda-beda   yang sampai sekarang belum  dapat disatukan dengan tuntas. Perbedan pendapat  itu mengakibatkan  keragu-raguan pemerintah  untuk memilih antara sistem desentralisasi dua tingkat, yaitu dengan daerah otonomi  tingkat I dan tingkat II saja dan sistem tiga tingkat dimana di bawah tingkat II ditambah tingkat III.”

Kedua,  secara  psikopolitik,  Desa  tetap  akan  marginal  dan  menjadi  isu yang diremehkan ketika pengaturannya ditempatkan pada  posisi subordinat  dan  subsistem pengaturan pemerintahan daerah. Desa mempunyai konteks sejarah, sosiologis, politik dan hukum  yang berbeda dengan  daerah. Karena itu penyusunan UU Desa tersendiri sebenarnya  hendak   ”mengeluarkan”  Desa   dari  posisi  subordinat,  subsistem   dan marginal dalam pemerintahan daerah,  sekaligus hendak  mengangkat  Desa pada  posisi subyek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.

Ketiga, secara  politik  penguatan otonomi   Desa  melalui  UU  Desa  tersendiri sebenarnya juga menjadi  aspirasi Desa yang disuarakan  oleh asosiasi pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Mereka senantiasa  menuntut perhatian  pemerintah pada Desa,  kesejahteraan yang lebih  baik,  kedudukan dan  kewenangan Desa  yang lebih besar,  penempatan Desa  sebagai  subyek  pemerintahan dan  pembangunan, alokasi dana  Desa yang lebih memadai, serta pembangunan yang betul-betul  berangkat  dari bawah  (bottom up). Sementara  Aliansi Masyarakat Adat Nusantara  (AMAN) senantiasa menuntut pengakuan negara  terhadap adat.  Aspirasi dari bawah  tersebut  tentu memperoleh dukungan  dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).

 

 Baca Juga: Pengembangan Kawasan Transmigrasi dengan Perkuat Akses Transportasi

 


HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN PEMERINTAHAN DESA

 Sejalan dengan bentuk-bentuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom, maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat tiga bentuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Desa, yakni :

1. Hubungan dalam bidang kewenangan, meliputi :

  • Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Desa, meliputi: penugasan dari pemerintah pusat kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan asas tugas pembantuan.
  • Hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Desa, meliputi: penugasan dari pemerintah provinsi kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan asas tugas pembantuan.
  • Hubungan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa, meliputi: (a) penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota kepada desa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tersebut; dan (b) penugasan dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan asas tugas pembantuan.

 2. Hubungan dalam bidang keuangan, meliputi :

  • Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Desa, meliputi: pemberian bantuan keuangan oleh Pemerintah Pusat kepada desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa dan program-program pemberdayaan masyarakat desa.
  • Hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Desa, meliputi: pemberian bantuan keuangan oleh Pemerintah Provinsi kepada desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa dan program-program pemberdayaan masyarakat desa.
  • Hubungan antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa, meliputi: (a) bagian hasil pajak daerah minimal 10% untuk desa; (b) bagian hasil retribusi daerah; (c) pemberian ”Alokasi Dana Desa”, yakni bagian dari dana perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota minimal sebesar 10% untuk desa; dan (d) pemberian bantuan keuangan oleh Pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa dan program-program pemberdayaan masyarakat desa.

 3. Hubungan dalam bidang pembinaan dan pengawasan, meliputi :

  • Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk melakukan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa.
  • Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan desa.
  • Aparatur Kecamatan berkewajiban untuk melakukan fasilitasi dan koordinasi atas penyelenggaraan pemerintahan desa.

 

 Baca Juga: Gerakan Nasional Transmigrasi Sebagai Pembangun Daerah dan Perekat Bangsa

 


PERBEDAAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA DAN KEWENANGAN DESA MENURUT PP NOMOR 72 TAHUN 2005 DENGAN UU NOMOR 6 TAHUN 2014

 

  1. Perbedaan Tata Kelola Pemerintahan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 dengan UU Nomor 6 Tahun 2014.
PP Nomor 72 Tahun 2005
UU Nomor 6 Tahun 2014
  1. Pengertian desa tidak menyebutkan desa dan desa adat;
  2. Pemerintahan Desa terdiri dari pemerintah desa (kepala desa, perangkat desa) dan BPD;
  3. Dalam azas pengaturan tidak diatur azas rekognisi dan subsidiaritas;
  4. Pembentukan desa hanya diatur secara umum tentang junlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat desa dan sarana prasarana pemerintahan desa;
  5. Pembentukan desa tidak diawali dengan desa persiapan;
  6. Periode masa jabatan kepala desa 2 (dua) kali berturut-turut;
  7. Pejabat Kepala Desa bisa ditunjuk dari unsur PNS, perangkat desa dan tokoh masyarakat;
  8. Sekretaris desa diangkat oleh Sekretaris Daerah Kab/Kota atas nama Bupati/Walikota dan perangkat desa lainnya diangkat oleh Kepala Desa;
  9. Jenis peraturan desa terdiri dari Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa;
  10. Peraturan Desa harus berdasarkan persetujuan BPD dan Peraturan Desa serta Peraturan Kepala Desa dimuat dalam Berita Daerah;
  11. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
  12. Rencana Kerja Pembangunan Desa dalam jangka 1 (satu) tahun;
  13. Sumber pendapatan desa terdiri dari PADesa, bagi hasil pajak daerah kab/kota paling sedikit 10%, ADD paling sedikit 10% setelah dikurangi belanja pegawai kab/kota, bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kab/kota, hibah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat;
  14. Tidak diatur pembangunan kawasan perdesaan;
  15. Tidak diatur lembaga adat dan tidak diatur ketentuan khusus desa adat.
 
 
 
  1. Pengertian desa menyebutkan desa dan desa adat;
  2. Pemerintahan Desa terdiri dari pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa;
  3. Dalam azas pengaturan desa diatur azas rekognisi dan subsidiaritas;
  4. Pembentukan desa diatur berdasarkan besaran jumlah penduduk, contoh: wilayah Jawa paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.200 KK; wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 jiwa atau 800 KK.
  5. Pembentukan desa diawali dengan desa persiapan selama 1 (satu) s/d 3 (tiga) tahun;
  6. Periode masa jabatan kepala desa 3 (tiga) kali berturut-turut dan tidak berturut-turut;
  7. Pejabat Kepala Desa harus dari PNS Kab/kota yang berpengalaman dan memahami tentang tata pemerintahan;
  8. Perangkat desa (Sekretariat Desa, Pelaksana Kewilayahan dan Pelaksana Teknis) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan camat atas nama Bupati/Walikota;
  9. Jenis peraturan di desa terdiri dari Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
  10. Peraturan Desa harus berdasarkan pembahasan dan kesepakatan dengan BPD serta Peraturan Desa dimuat dalam Lembaran Desa sedangkan Peraturan Kepala Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa dimuat dalam Berita Desa;
  11. Rencana Pembangunan Menengah Desa dalam jangka waktu 6 (enam) tahun;
  12. Rencana Kerja Pemerintah Desa dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
  13. Sumber pendapatan desa terdiri dari PADesa, alokasi APBN (Dana Desa Pusat), bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kab/kota, ADD minimal 10% setelah dikurangi DAK, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kab/Kota, Hibah dan    sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pendapatan yang sah;
  14. Diatur pembangunan kawasan perdesaan;
  15. Diatur tentang lembaga adat dan
     diatur ketentuan khusus desa adat.

 

 

  1. Perbedaan Kewenangan Desa menurut PP Nomor 72 Tahun 2005 dengan UU Nomor 6 Tahun 2014
PP Nomor 72 Tahun 2005
UU Nomor 6 Tahun 2014
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :
  • urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
  • urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
  • tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
  • urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :
  • kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  • kewenangan lokal berskala Desa;
  • kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
  • kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Baca Juga: Daftar Desa dan Kode Desa & Kelurahan di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan

 

Pengertian Kewenangan dan Kewenangan Desa

Dalam prespektif hukum publik, Stroink (2006:4) menguraikan makna kewenangan (authority) dalam 3 (tiga) dimensi pokok, yakni:

  1. kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang atau badan hukum publik. Batasan ini memerlukan penjelasan. Kewenangan badan hukum publik harus dibedakan kewenangan dari wakil untuk mewakili badan. Hak dan kewajiban yang diberikan kepada wakil harus dibedakan dari hak dan kewajiban yang diberikan kepada badan hukum publik.
  2. kewenangan dari badan hukum publik tidak hanya hak dari badan berdasarkan hukum publik, tapi juga kewajiban berdasarkan hukum publik. Jika berbicara hak dan kewajiban, hal itu mengandung arti bahwa orang melihat kewenangan semata-mata sebagai hak, sebagai kuasa. Dalam pada itu, hal menjalankan hak berdasarkan hukum publik sedikit banyak selalu terikat kepada kewajiban berdasarkan hukum publik sesuai asas umum pemerintahan yang baik. Memperhatikan hubungan yang tidak terputus ini antara hak dan kewajiban yang berdasarkan hukum publik, saya mengartikan kewenangan dari badan itu sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang terletak pada badan hukum publik itu, sehingga harus dibedakan: (1) pemberian kewenangan: pemberian hak kepada dan pembebanan kewajiban terhadap badan badan hukum publik (attribusi/delegasi); (2) pelaksanaan kewenangan: menjalankan hak dan kewajiban publik yang berarti mempersiapkan dan mengambil keputusan; dan (3) akibat hukum dari pelaksanaan kewenangan keseluruhan hak dan/atau kewajiban yang terletak pada rakyat/burger, kelompok rakyat dan badan.
  3. Kewenangan berdasarkan hukum publik sebagai dasar tindakan badan yang memang terletak dalam hukum publik. Saya gunakan “kewenangan berdasarkan hukum publik” jadi tidak dalam arti terbatas dari “berwenang untuk melakukan tindakan hukum menurut hukum publik, tapi dalam arti kewenangan untuk tindakan (hukum) berdasarkan hukum publik.

Dalam prespektif Administrasi Negara, kewenangan (authority) adalah hak seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik (Sutarto, 1985: 141). Dalam dimensi organisasi pemerintahan, senantiasa terjadi pelimpahan atau penyerahan wewenang dari organisasi pemerintahan tingkat atas kepada organisasi pemerintahan tingkat bawahnya dan/atau pelimpahan atau penyerahan wewenang dari pimpinan tingkat atas kepada bawahannya. Oleh karena itu, Sutarto (1985: 142) menyatakan bahwa pelimpahan wewenang berarti penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain. Jadi tegas bahwa pelimpahan wewenang itu bukan penyerahan hak dari atasan kepada bawahan, melainkan penyerahan hak dari pejabat kepada pejabat.

 

Selanjutnya Sutarto (1985: 142) menegaskan bahwa setiap pejabat yang diserahi tugas mempunyai tangung jawab agar tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik. Tangung jawab adalah keharusan pada seorang pejabat untuk melaksanakan secara selayaknya segala sesuatu yang telah dibebankan kepadanya. Tanggung jawab demikian itu hanya dapat dipenuhi apabila pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang tertentu dalam bidang tugasnya. Dengan tiada kekuasaan/ kewenangan itu, tanggung jawab tidak dapat dilaksanakan dengan sepantasnya.

Sejalan dengan pendapat diatas, Taliziduhu Ndraha (1996: 85) dengan mengutip pendapat beberapa para pakar menyatakan bahwa kewenangan (authority) adalah kekuasaan atau hak yang diperoleh berdasarkan pelimpahan atau pemberian; atau kewenangan adalah kekuasaan untuk mempertimbangkan/menilai, melakukan tindakan, atau memerintah kekuasaan yang sah (“the power or right delegated or given; the power to judge, act or command). Namun, pembahasan tentang kewenangan, harus memperhatikan apakah kewenangan itu diterima oleh yang menjalankan. Oleh karena itu, penyerahan atau pelmpahan wewenang senantiasa memerlukan pencermatan terhadap kemampuan pihak yang akan menerima penyerahan atau pelimpahan wewenang teersebut. Uraian singkat ini menunjukkan bahwa kewenangan adalah kekuasaan yang sah yang dapat diperoleh dari pelimpahan atau penyerahan, untuk melakukan tindakan atau memerintah.

Namun, kewenangan desa tidak hanya diperoleh melalui pelimpahan atau pemberian, karena desa memiliki kewenangan asli (indigenous authority atau genuine authority) berdasarkan hak asal usul desa sesuai sistem nilai adat istiadat masyarakat setempat. Sistem nilai adat istiadat masyarakat setempat merupakan salah satu faktor pengikat yang diakui dan ditaati bersama oleh masyarakat setempat (selain faktor-faktor lainnya). Dengan menyitir pendapat Prof. Dr. R. Van Dijk dalam bukunya Pengantar Hukum Adat Indonesia (terjemahan Mr. A. Soehardi), Taliziduhu Ndraha (1996: 4) menyatakan bahwa ”Adat istiadat merupakan semua kesusilaan dan kebiasaan Indonesia di semua lapangan hidup, jadi juga semua peraturan tentang tingkah macam apapun juga, menurut mana orang Indonesia biasa bertingkah laku”.

Sistem nilai adat istiadat sebagai faktor pengikat yang mengatur sikap dan perilaku masyarakat setempat inilah yang merupakan hak asal usul desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Mengingat adanya perbedaan sistem nilai adat istiadat di dalam masyarakat Indonesia, maka kewenangan asli desa senantiasa berbeda-beda antara desa-desa di Indonesia, meskipun pada hal-hal tertentu adanya kesamaan nilai adat istiadat antar suku-suku bangsa di Indonesia, seperti nilai-nilai perdamaian dalam menyelesaikan masalah perdata dalam kehidupan masyarakat desa.

Kewenangan asli desa inilah yang merupakan kewenangan utama desa dalam menyelenggarakan rumah tangga desa, sehingga kewenangan desa yang bersifat pelimpahan atau pemberian dari pemerintah atasan, pada dasarnya merupakan kewenangan tambahan, karena Pemerintahan desa merupakan unit pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan secara nasional.

Namun, mengingat adanya kecenderungan bahwa kewenangan asli desa semakin berkurang (bahkan di beberapa desa di Indonesia cenderung memudar) dalam mengatur dan mengurus kehidupan masyarakat desa, maka seakan-akan terlihat bahwa kewenangan desa yang diperoleh dari pelimpahan atau penyerahan kewenangan dari pemerintah atasan menjadi kewenangan utama Pemerintahan Desa. Pemahaman seperti ini dapat dipahami, mengingat tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Desa lebih bersifat penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan secara nasional, ketimbang penyelenggaraan urusan rumah tangga desa berdasarkan sistem nilai adat istiadat masyarakat setempat atau berdasarkan hak asal usul desa.

Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala diatur dan diurus oleh Desa. Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diurus oleh Desa.

Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Penugasan  disertai biaya.

 

Kewenangan Desa meliputi:

  1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;
  2. kewenangan lokal berskala Desa;
  3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
  4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul sebagaimana paling sedikit  terdiri atas:

  1. sistem organisasi masyarakat adat;
  2. pembinaan kelembagaan masyarakat;
  3. pembinaan lembaga dan hukum adat;
  4. pengelolaan tanah kas Desa; dan
  5. pengembangan peran masyarakat Desa.

 

Kewenangan lokal berskala Desa paling sedikit terdiri atas:

  1. Pengelolaan tambatan perahu;
  2. Pengelolaan Pasar Desa;
  3. Pengelolaan tempat permandian umum;
  4. Pengelolaan jaringan irigasi;
  5. Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa;
  6. Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
  7. Pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar;
  8. Pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan;
  9. Pengelolaan embung Desa;
  10. Pengelolaan air minum berskala Desa; dan
  11. Pembuatan jalan Desa antar permukiman ke weilayah pertanian.

Selain kewenangan sebagaimana di atas Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan lokal.

 

Penyerahan ”urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa” akan berimplikasi terhadap:

  1. Kewenangan memutuskan ada pada tingkat Desa, sehingga terjadi: 1) pergeseran kewenangan dari Pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintahan desa; dan (2) peningkatan volume perumusan peraturan perundang-undangan berupa Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
  2. Adanya pembiayaan yang diberikan Kabupaten/Kota kepada Desa dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga terjadi: 1) pergeseran anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos pemerintahan desa; dan (2) adanya program pembangunan yang bisa mengatasi kebutuhan masyarakat Desa dalam skala Desa.
  3. Adanya prakarsa dan inisiatif pemerintahan desa dalam mengembangkan aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayahnya sesuai ruang lingkup kewenangan yang diserahkan.
  4. Adanya prakarsa dan kewenangan memutuskan oleh Pemerintahan Desa sesuai kebutuhan masyarakat Desa, sehingga keterlibatan seluruh stakeholders (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan, dan masyarakat desa) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan semakin lebih maksimal.

 

Bila semua kebutuhan lokal dapat diatasi oleh pemerintah desa, diharapkan akan semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan program-program pemerintah.

 

 Baca Juga: ASAL USUL DATA PENERIMA BANTUAN PKH

 


 

MAKNA KELEMBAGAAN DESA DAN JENIS-JENIS KELEMBAGAAN DI DESA

Makna Kelembagaan Desa

Lembaga atau institution merupakan wadah untuk mengemban tugas dan fungsi tertentu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, keberadaan “lembaga desa” merupakan wadah untuk mengemban tugas dan fungsi pemerintahan desa (dimana tugas dan fungsi pemerintahan desa merupakan derivasi atau uraian lebih lanjut dari kewenangan desa) untuk mencapai tujuan penyelengaraan pemerintahan desa. Tujuan penyelenggaraan pemerintahan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga tugas pemerintah (termasuk Pemerintah Desa) adalah pemberian pelayanan (services), pemberdayaan (empowerment), serta pembangunan (development) yang seluruhnya diabdikan bagi kepentingan masyarakat  (Rasyid, 1996: 37-38).

Istilah “lembaga” seringkali dipertukarkan dengan istilah “organisasi”, meskipun kedua istilah tersebut (lembaga dan organisasi) dapat dibedakan secara teori Penggunaan terminologi ”lembaga” yang dipertukarkan dengan terminologi ”organisasi” adalah hal yang layak, mengingat kelembagaan desa senantiasa tampil dalam sosok”organisasi pemerintahan desa”.

Secara teoritis, menurut Chester I. Barnard sebagaimana dikutip Thoha (1992: 124) menyatakan bahwa organisasi adalah suatu sistem dari aktivitas-aktivitas orang yang terkoordinasikan secara sadar atau kekuatan-kekuatan yang terdiri dari dua orang atau lebih. Sedangkan menurut Amitai Etzioni sebagaimana dikutip Thoha (1992: 126), organiasi adalah pengelompokkan orang-orang yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut Sutarto (1985:36), organisasi adalah sistem saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Dari definisi yang sederhana ini dapat diketemukan adanya berbagai faktor yang dapat menimbulkan organisasi, yaitu orang-orang, kerjasama, dan tujuan tertentu.  Berbagai faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling terkait merupakan suatu kebulatan. Maka dalam pengertian organisasi digunakan sebutan ”sistem” yang berarti kebulatan dari berbagai faktor yang terikat oleh berbagai asas tertentu.

Mengenai faktor-faktor organisasi, Herbert G. Hicks sebagaimana dikutip Sutarto (1985: 37) berpendapat bahwa terdapat unsur inti (core element) dan faktor kerja (working element). Yang termasuk faktor inti (core element) adalah orang-orang sebagai faktor yang membentuk organisasi; sedangkan yang termasuk faktor kerja (working element) yang menentukan berjalannya organisasi adalah:

  1. daya manusia, yang terdiri dari kemampuan untuk bekerja, kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, dan kemampuan melaksanakan asas-asas organisasi; dan


  2. daya bukan manusia, yang meliputi alam, iklim, udara, cuaca, air, dan lain-lain.


 

Di dalam membahas tentang makna organisasi, perlu dipahami pula tentang asas-asas organisasi. Menurut Sutarto (1985: 55), terdapat 11 (sebelas) asas organisasi, yakni:

  1. Perumusan tujuan dengan jelas, yakni perumusan tujuan organisasi yang akan menjadi rujukan bersama dari seluruh aktivitas yang dilaksanakan oleh setiap anggota organisasi;


  2. Departementasi, yakni aktivitas untuk menyusun satuan-satuan organisai yang akan diserahi bidang kerja tertentu atau fungsi tertentu;


  3. Pembagian Kerja, yakni perincian serta pengelompokkan aktivitas-aktivitas yang semacam atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh satuan organisasi tertentu;


  4. Koordinasi, yakni pengaturan usaha sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama; 


  5. Pelimpahan Wewenang, yakni penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain;


  6. Rentangan Kontrol atau Rentang Kendali (span of control), yakni jumlah terbanyak bawahan langsung yang dapat dipimpin dengan baik oleh seorang atasan tertentu;


  7. Jenjang Organisasi, yakni tingkat-tingkat satuan organisasi yang di dalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang tertentu menurut kedudukannya dari atas ke bawah dalam fungsi tertentu;


  8. Kesatuan perintah (unity of command), yakni tiap–tiap pejabat dalam organisasi hendaknya hanya dapat diperintah dan bertangungjawab kepada seorang pejabat atasan tertentu;


  9. Berkelangsungan, yakni kelangsungan kehidupan organisasi secara terus menerus atas dasar dukungan orang-orang yang bekerjasama dengan mengunakan prasarana dan sarana kerja tertentu untuk mencapai tujuan organisasi;


  10. Keseimbangan, yakni penempatan satuan-satuan organisasi pada struktur organisasi sesuai dengan perannya.


[***]

___________________
Agar anda tidak ketinggalan informasi terbaru di Tenggulangbaru.id, anda bisa join di Channel WA Tenggulangbaru.id dengan KLIK DI SINI. Selain itu Anda dapat menyimak update berita lainnya di tenggulangbaru.id dengan mengakses Google News.
___________________

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Recent Posts

x
x
Kebijakan Pemerintah dalam Tata Kelola Pemerintahan Desa - Tenggulang Baru
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%